Invisible Hands Kasus Prita

Sungguh kasihan Ny Prita, seorang pasien wanita yang terpaksa mendekam di tahanan selama 21 hari, akibat menulis di e-mail tentang pengalaman buruknya menjadi pasien di RS Omni Internasional Tengerang. Sungguh malang nasib RS Omni yang hanya gara-gara memperkarakan e-mail Prita yang dianggap telah mencemarkan nama baik, kini citranya malah betul-betul terpuruk.

Saat ini kasus Prita sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang. Sementara RS Omni diadili oleh masyarakat luas, pers, maupun opini publik. Bahkan lebih dari itu, RS tersebut sudah divonis dengan mendapatkan sanksi moral. Bagaimana pun, citra RS sakit tersebut sudah jatuh akibat pemberitaan terus menerus, yang isinya cenderung memojokkan.

Sangat sulit bagi rumahsakit maupun dokter yang telah diadili lewat media massa, untuk memulihkan nama baik meskipun pada akhirnya putusan pengadilan memenangkannya. Pengalaman empirik membuktikan, ketika terjadi persoalan hukum antara pasien dengan dokter atau rumahsakit, dan diberitakan di media massa. Maka yang pertamakali mendapatkan dampaknya ialah pihak dokter atau rumahsakit.

Simpati masyarakat biasanya lebih condong ke pihak pasien. Pasienlah yang benar, dokter atau rumahsakit yang salah. Hal seperti itu dapat dimaklumi, karena masyarakat biasanya lebih berpihak kepada yang lemah, yang tidak berdaya, yang jadi “korban” yaitu pasien. Sedangkan dokter atau rumahsakit diasumsikan sebagai pihak yang kuat, yang berkuasa, dsb. Padahal jika direnungkan, kedua pihak boleh jadi merupakan korban.

Dalam kasus Prita versus RS Omni, saya melihat kedua belah pihak telah menjadi korban dari invisible hands yakni pihak lain yang sengaja atau tidak telah menyebarkan e-mail pribadi Ny Prita yang berisi ungkapan kekecewaan terhadap RS Omni. Wajar jika institusi layanan publik tidak dapat memuaskan semua orang. Wajar jika muncul kekecewaan pasien terhadap dokter maupun rumah sakit. Bahkan, sangat manusiawi jika ada pasien yang jengkel dan marah kepada dokter/rumahsakit.

Jadi komplain Ny Prita lewat e-mail sebetulnya hal yang wajar. Yang tidak tepat ialah mereka yang telah meng-up load e-mail tersebut sehingga tersebar secara luas. Dan inilah yang semestinya dilacak dan bahkan dipersalahakan. Sebagai perbandingan, dalam kasus foto/video porno di internet maka pelaku dalam foto/video adalah korban. Sementara yang dibawa ke meja hijau justru orang yang menyebarkan foto tersebut.

Dalam kasus Ny Prita, katakanlah memang ada bukti e-mail yang diduga mencemarkan nama baik sehingga melanggar ketentuan pasal 310 KUHP dan pasal 27 UU ITE tahun 2008. Pertanyaannya, bagaimana dengan pihak-pihak yang menyebarkan e-mail Ny Prita?. Bukanlah dia atau merekalah yang punya andil dalam meledakkan kasus ini? Mereka itulah invisible hands yang seharusnya juga dilacak dan dikenai sangsi hukum.

Masalahnya, tidak mudah untuk melacak pelaku penyebar fitnah, nista, atau foto-foto porno ke dalam dunia maya. Hal ini merupakan tantangan dan menjadi PR besar bagi aparat penegak hukum di masa depan. ***

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda