Dua Sisi Syech Puji

Sungguh kontras apa yang dipertontonkan penganut poligami Syech Puji. Dia akhirnya pasrah menjalani proses hukum atas sangkaan pencabulan dan perampasan hak anak. Syech Puji juga menyatakan penyesalannya seraya meminta maaf kepada rakyat Indonesia, seluruh pejabat dan polisi (KR, 19/3).

Awal Maret lalu, pria 43 tahun yang bersikeras hendak penikahi gadis 12 tahun Lutfiana Ulfa ini, masih berupaya menunjukkan kedigdayaannya. Ia tantang kepolisiain segera melakukan penyidikan untuk membuktikan bahwa jika dirinya bersalah. Dia mengancam akan menggerakkan demo besar-besaran terkait proses hukum atas dirinya.

Tidak cuma itu. Pengusaha kaya raya dari Semarang ini bahkan melecehkan hukum dan aparat penegak hukum, dengan membangun sel pejara di rumahnya. Lengkap dengan jeruji besi dan lorong sempit. Lantas dia dia berakting seolah-olah sedang mendekam dalam penjara, sambil menari-nari kegirangan.

Terlepas dari kontroversi mengenai rencana poligami terhadap anak di bawah umur, kelakuan Syech Puji yang menantang proses hukum itu bisa menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum di negara kita. Hukum harus berlaku sama terhadap siapa pun. Hukum tidak boleh membeda-bedakan, karena pada dasarnya setiap orang sama di hadapan hukum. Equity before the law. Hukum menjadi kehilangan martabat dan fungsi luhurnya manakala ia dijalankan secara diskriminatif.

Kita patut berterima kasih kepada Syech Puji. Dia akhirnya menyadari bahwa proses hukum memang harus dijalani. Toh, keputusan akhir tergantung kepada majelis hakim kelak. Itu pun jika tidak puas, dia masih bisa menempuh upaya banding dst. Mekanisme peradilan di Indonesia sebetulnya sudah memberikan ruang bagi siapa pun yang merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan. Bukan dengan cara arogan yang pernah ditunjukkan oleh Syech Puji, namun menggunakan cara sesuai prosedur yang berlaku.

Masalah besar dalam penegakan hukum di Indonesia, saya kira karena hukum mulai kehilangan kewibaannya. Ini antara akibat ulah dari sebagian oknum penegak hukum sendiri. Sudah menjadi rahasia umum mengenai fenomena hakim yang bisa dibeli. Penyidik yang mudah diarahkan oleh kekuatan uang dan jabatan. Hukum di Indonesia nampak sangat tegas terhadap perkara yang menyangkut rakyat biasa. Namun ketika berhadapan dengan kekuasaan, jabatan, dan uang maka hukum seolah-olah kehilangan daya,lembek, dan loyo.

Syech Puji barangkali melihat adanya fenomena semacam itu. Hukum yang lembek. Hukum yang bisa ditekuk-tekuk dengan kekuatan orang. Karena itu ia mencoba menantang aparat penegak hukum lewat berbagai pernyataan keras dan tindak tanduknya yang fenomenal, seperti membangun penjara kasus nikah siri dan ia sendiri yang pertama kali menjebloskan diri ke dalamnya. Sebuah tindakan yang amat teatrikal dan menohok.

Namun akhirnya hukum berjalan di jalurnya yang benar. Syech Puji harus bersedia mengikuti logika dan langkah hukum. Kita sempat disuguhi pemandangan yang kontras dari dua sisi. Sosok milyarder Syech Puji yang nampak perkasa dan cenderung arogan. Lalu sosok Syech Puji yang harus tunduk di hadapan hukum. Memang demikian hukum seharusnya dijalankan, tidak boleh pilih-pilih, agar ia tidak kehilangan pamor dan perannya di masyarakat. ***

Pemilu yang pilu

Seperti judulnya, pemilu 2009 yang sudah semakin dekat ini semakin pilu saja.
Sebagian orang mungkin menganggap pemilu 2009 ini semakin baik.
Namun bagi saya: TIDAK!

Pernahkan anda meluangkan sedikit waktu anda dijalan untuk melihat keunikan para Caleg kita yang akan mewakili kita di legislatif nanti, baik propinsi maupun RI.
Jika belum, silahkan kunjungi link berikut ini: pemimpin kita.
Atau anda juga bisa melihat poster Caleg yang sungguh luar biasa anehnya disini

Jauh dari itu semua, lihatlah mutu Caleg kita?
Apakah semuanya baik dan memang layak untuk mewakili kita nanti di legislatif?
Saya pernah melihat di stasiun TV swasta yang memberitakan bahwa ada Caleg di suatu daerah yang pekerjaan sehari-hari adalah tukang parkir.
Ada juga yang pedagang kaki lima, dan yang paling banyak adalah PENGANGGURAN!!
Ini kan gila namanya?!

Kalau menurut saya, sebagian besar dari mereka tidak mampu untuk mewakili dirinya sendiri, lalu bagaimana mau mewakili rakyat?!
Memang tidak semua berkualitas rendahan seperti itu, namun sebagian besar seperti itu.
Anda tidak percaya?
Silahkan lihat di link yang saya tuliskan diatas, anda akan melihat kenyataan yang ada.
Mudah sekali untuk berjanji, namun saya yakin mereka tidak mampu mewujudkannya.
Darimana bisa, kalau untuk kehidupannya sendiri saja mereka tidak mampu menjadi yang terbaik.

Ya itulah demokrasi bebas kita, semua bebas menjadi wakil rakyat.
Saya rasa bukan itu yang dimaksud demokrasi, tapi ya inilah realita saat ini.
Mungkin pemilu berikutnya syarat menjadi Caleg hanyalah lulusan SD saja.
Jadi biar semakin demokrasi saja, *kasihan

Postingan Lebih Baru Beranda